a.Relasi
Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan
Tujuan
pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau
mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu
menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan
kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini
diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan
tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi
pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam
konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi
mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia.
Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek
positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan
kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan.
Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan,
kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas,
dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
b.Masalah
Kurikulum
Sistem
sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter
yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak
“atas”. Dalam system yang
seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem
sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan
kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan
dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum
yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan
berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu
kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak
terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.
Dalam
realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan.
Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada
hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta
disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada
pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan
pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual,
normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual
dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3)
perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari
para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk
tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang
hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum
pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta
didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan
cara-cara mencapainya.
c. Pendekatan/Metode
Pembelajaran
Peran
guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi
siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru,
memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola
pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan
teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya
sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus
perkembangan zaman.
Siswa
atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya,
berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu,
dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap
mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga
sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang
konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada
tantangan untuk berfikir.
d.Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah
satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde
Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai.
Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah
cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi
harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified, danmismatch, sehingga
mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang
benar-benar kualitatif.
e. Biaya
Pendidikan
Faktor
biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang
seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan
ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil
amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN
dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi.
Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun
2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2. Faktor
Eksternal
a. Dichotomic
Masalah
besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam
beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan
Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala
perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai
tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan
islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti
antara hukum dan teologi untuk mendapat
julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b. To
General Knowledge
Kelemahan
dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih
terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah
(problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang
membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein
Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,
mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan
masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah
intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan
non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu
untuk melihat konsekuensinya.
c. Lack
of Spirit of Inquiry
Persoalan
besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah
rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas
merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme
Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit”(semangat
intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran
Islam di Timur Tengah.
d. Memorisasi
Rahman
menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis
yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa,
karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu
yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang
aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.
Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripadapemahaman pelajaran yang bersangkutan.
Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing)
daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad
pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar
dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e. Certificate
Oriented
Pola
yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah
memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan
perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari
guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa
karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu
adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika
pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi
berharga, ulama-ulamaencyclopedic, karya-karya besar sepanjang
masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang
dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dariknowledge
oriented menuju certificate oriented semata. Mencari
ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah
saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.
C. SOLUSI
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Pendidikan
memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin
menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam
menuju era globalisasi, indonesia harus melakukan reformasi dalam proses
pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih
komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif
dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus
dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan
potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan,
kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan
lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat
mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam
kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah
mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Selain
itu, program pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi
sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan
solusi pokok menurut Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang
kreatif dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera
dipercepat prosesnya. Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalahsecularization, yaitu
industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi fungsional dari
struktur sosial dan sistem keagamaannya.
Berbagai
macam tantangan tersebut menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama
lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau
perenungan dan penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi
tantangan tersebut, model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu
ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi
tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat berarti at-taammul
wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji dan memeriksanya
secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib al-bashar wa
al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan perubahan
pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap
dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan
alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah dibuat dari
berbagai perspektif guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik.
D. ORIENTASI
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Menurut
Ahmad Tantowi, dengan adanya era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi
pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Orientasi tersebut ialah sebagai berikut :
1. Pendidikan
Islam sebagai Proses Penyadaran
Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran
kritis” masyarakat. Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu
menganalisis hubungan faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan
keluarnya. Hubungan antara kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan
globalisasi ialah agar umat Islam bisa melihat secara kritis bahwa
implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah sesuatu yang given atau
takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis
dari sistem dan struktur globalisasi itu sendiri.
2. Pendidikan
Islam sebagai Proses Humanisasi
Proses
Humanisasi dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan
manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi
(fitrah) yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya)
dan diberdayakan (ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Pendidikan Islam
sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan
masyarakat, apalagi di era globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata
kehidupan masyarakat akan menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini.
Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil
elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas,
termasuk kalangan pelajar.
Bagi pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak
sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama
agama Islam. Hanya saja, akibat
penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam
institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus
dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq
al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting
lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal,
maupun nonformal.
Pembinaan akhlak sebagai (salah satu) orientasi
pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah sesuatu yang tidak bisa
ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak
masyarakatnya.
No comments:
Post a Comment