LATAR
BELAKANG,TUJUAN DAN BIDANG GARAP DAN MODEL PENDIDIKAN JAMI’ATUL WASHLIYAH
Untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN
PENGAMPU : SUKARMAN, M.Pd.I
KELSA A7
Disusun oleh kelompok :
Add caption |
2.Sriyanti
3.Afifuddin Haris
4.Ahmad Sahal
![]() |
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat
Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam.Makalah ini
kami buat guna memenuhi tugas kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu makalah ini dapat diselesaikan
sesuai dengan waktunya.
Makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan
informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan
bagi kita semua amin.
Jepara,29
Oktober 2015
Penyusun
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
B.RUMUSAN MASALAH
C.TUJUAN PENULISAN
BAB II PEMBAHASAN
A, PENGERTIAN JAMI’ATUL WASHLIYAH
B.SIMBUL JAMI’ATUL WASHLIYAH
C.ANGGARAN DASAR
D.AWAL BERDIRINYA JAMI’ATUL WASHLIYAH
E.AKTIVITAS JAMI’ATUL WASHLIYAH
F.PERAN JAMI’ATUL WASHLIYAH DALAM MASYARAKAT
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN DAN
HARAPAN
BAB I
PENDAHULUAN
B. LATAR BELAKANG
Sejak perkebunan karet dan teh dibuka di Sumatera Timur pada abad ke-19, daerah
ini menjadi daerah migrasi. Para migran ini dapat dibagi atas 2 kelompok, yakni
bangsa asing dan pribumi. Migran asing 12,2%, sedangkan migran pribumi terdiri
dari suku jawa 52,3%; mereka ini sebagai pekerja kuli di perkebunan, suku batak
toba 4,4%, Mandailing 3,5%, Minangkabau 3,0%, suku lainnya 1,0% - 2,0% dan
prnduduk asli 34%[1]. Sekalipun jumlah migran dari Mandailing dan Minangkabau tidak
begitu besar bila dibandingkan dengan migrant suku Jawa, tetapi ternyata
mereka ini lebih terampil dan mempunyai bekal pengetahuan sekurang-kurangnya
untuk hidup mereka sendiri, sehingga pengaruh mereka lebih menonjol daripada
penduduk asli.
Adapun motivasi migran ini semuanya untuk mencari nafkah di tempat baru, karena
daerah Sumatera Timur merupakan daerah yang lebih membuka kemungkinan bagi
mereka dalam mencari nafkah hidup. Para migran tersebut di atas ada yang
berperan sebagai ulama. Pada mulanya mereka ini mengajar terbatas pada kalangan
sendiri, kemudian meluas pada penduduk setempat.
Pada tahun 1918 di Medan berdiri sebuah Maktab/Madrasah yang diberi nama Maktab
Islamiyah Tapanuli (MIT)[2]. Maktab ini didirikan atas inisiatif masyarakat
Mandailing (Tapanuli Selatan) yang bertempat tinggal di Medan. Maktab ini
merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang bersifar formal, yang pertama di
Medan. Sebelum ini lembaga pendidikan hanya bersifat non-formal[3].
Sistem belajar di MIT hampir sama dengan sistem belajar di pesantren yakni
lebih mengutamakan perkembangan daya ingatan karena setiap pelajaran harus
dihafal[4].
Setelah MIT berjalan 10 tahun yaitu pada tahun 1928 murid-murid MIT dari kelas
tertinggi membentuk sebuah perhimpunan pelajar yang disebut “Debating Club” dipimpin oleh
Abdurrahman Syihab[5]. Tujuan perhimpunan pelajar ini mula-mula mengadakan diskusi
mengenai pelajaran-pelajaran saja. Kemudian juga membicarakan masalah sosial
bahkan mengenai masalah adanya paham baru yang muncul di kalangan
masyarakat, yaitu paham Muhammadiyah yang berdiri di Medan pada tahun 1928.
Pada umumnya masyarakat di Sumatera Timur bermazhab Syafi’i, tetapi muncul
golongan masyarakat yang tidak terikat pada salah satu mazhab, yang dikenal
dengan Kaum Muda. Golongan ini hanya memakai sumber hukum dari Alquran dan
Hadis. Mereka menolak taqlid (mengikuti
pendapat dari ulama fiqih)[6].
“Debating Club” ingin berperanserta
untuk menghadapi masalah tersebut di atas dan mencoba menjadi penengah. Oleh
karena itu mereka memperluas bentuk perhimpunannya, dengan melebur dirinya
menjadi sebuah organisasi yang disebut Al-Jam’iyatul Washliyah. Organisasi ini
bermazhab Syafi’i[7], berdiri tahun 1930. Sekalipun Al-Jam’iyatul Washliyah berpegang
pada mazhab syafi’i, namun bermazhab bukan penghambat untuk maju. Hal ini
tercermin dari aktivitas organisasi yang mengutamakan pendidikan, baik formal
yang membuka madrasah dan sekolah, maupun non-formal melalui tabligh. Organisasi ini aktif terutama
di Sumatera Utara dalam memasukkan orang-orang Batak menjadi Islam dan
dipandang sebagai organisasi yang mampu bersaing dengan kalangan missionaries
Kristen di daerah tersebut[8].
Jika melihat aktivitas Al-Jam’iyatul Washliyah seperti diuraikan di atas,
walaupun ia berpegang teguh dan mengikuti salah satu mazhab (syafi’i), namun
juga mau menerima model pendidikan Barat agar dapat mengikuti perkembangan
zaman.
B.RUMUSAN MASALAH
a.Apa pengertian jami’atul washliyah
b.Apa simbul jami’atul washliyah
c.Bagaimana visi jami’atul washliyah
d.Jelaskan tujuan jami’atul wasliyah
e.Siapa saja pendiri jami’atul washliyah
C.TUJUAN PENULISAN
a.menjelaskan pengertian jami’atul wasliyah
b.menjelaskan simbul jami’atul washliyah
c.menjelaskan visi jami’atul washliyah
d.menjelaskan tujuan jami’atul washliyah
e.menjelaskan pendiri jami.atul washliyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN JAMI’ATUL WASHLIYAH
Al-Jam’iyatul Washliyah adalah sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam
bidang sosial dan pendidikan. Organisasi ini sangat aktif menyiarkan agama
Islam melalui pendidikan, termasuk madrasah dan sekolah, untuk meningkatkan
pendidikan masyarakat. Organisasi ini lahir pada tanggal 30 November 1930,
sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya organisasi ini kurang berkembang, namun
setelah Indonesia merdeka perkembangannya sangat pesat hampir menjangkau
seluruh pelosok kepulauan di Indonesia.
Semua keberhasilan organisasi ini merupakan hasil aktivitas Al-Jam’iyatul
Washliyah yang digerakkan dengan penuh semangat dan keuletan oleh
pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli, suatu pendidikan agama di Medan.
Kemajuan Al-Jam’iyatul Washliyah pada masa selanjutnya adalah hasil jerih payah
dan perjuangan pada masa lalu.
B. SIMBUL AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Bulan dan Lima Bintang
1. Bulan Terbit
Artinya: Mengisyaratkan bulan purnama raya yang selagi memancarkan cahayanya di
alam dunia ini yaitu peringatan kepada sekalian alam ini bahwa agama Islam akan
berkembang meratai seluruh penjuru alam
2. Lima Bintang Bersatu
Artinya: Sebagai sinar yang merupakan sendi kebenaran agama Islam dengan rukun
yang lima, terutama sekali sembahyang yang lima waktu, sebagai fondamen yang
kokoh menyinari rohani dan jasmani untuk menunaikan perintah Ilahi mencapai
kemuliaan dunia dan akhirat.
3. Warna Putih
Arinya: Keimanan orang yang mukmin itu, sebagai cahaya bulan yang baru terbit:
warnanya bersinarkan cahaya yang terang benderang; dan apa bila ia timbul mulai
memancarkan cahayanya meskipun hujan dan awan serta angin badai yang keras,
cahayanya itu tidak akan lenyap tetap bersinar sehingga sampai kepada saat yang
penghabisan.
4. Dasar yang Berwarna Hijau
Artinya: Tiap-tiap orang mukmin itu wajib suci; hati, rohani, jasmani serta
budi pekertinya; lemah lembut mencapai kemuliaan dan perdamaian yang kekal
dimuka bumi ini.
Adakah tidak engkau lihat sesungguhnya Allah
telah menurunkan dari langit akan air, jadilah bumi hijau
5. Cahaya
Bulan dan Bintang
Artinya: Agama Islam dan kaum Muslimin, sebagai pedoman petunjuk keselamatan di
daerah dan di lautan, dengan jalan lemah lembut; cahaya mana? Ialah cahaya yang
tak dapat dilindungi dan ditutupi oleh apapun juga. Ibarat air yang berjalan
meratai bumi, lambat laun ia akan meratai bumi seluruhnya.
Dan ialah Allah yang telah menjadikan bagi kamu akan beberapa bintang supaya
kamu dapat petunjuk dalam kegelapan darat dan laut[9].
Visi
Al-Jam’iyatul Washliayh adalah cara pandang yang jauh ke depan
organisasi ini harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif.
Sedangkan misi organisasi ini adalah
(1) untuk meningkatkan iman, ilmu
dan amal. (2) menjalin kerjasama dengan setiap organisasi Islam untuk memajukan
Islam. (3) melindungi anggota dimanapun ia berada dari keterbelakangan di
segala bidang, gangguan dan ancaman. (4) memberikan kontribusi dalam upaya
menciptakan ketertiban bangsa dan umat Islam dengan damai, adil dan sejahtera.
(5) menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan sesama warga Al-Washliyah
dan dengan organisasi lainya termasuk pemerintah[10].
Tujuannya adalah untuk melaksanakan tuntutan agama Islam sekuat tenaga.
Para
pendiri Al-Jam’iyatul Washliyah, mereka dikenal sebagai orang-orang
yang bekerja keras, wara’, memiliki pengetahuan Islam secara mendalam dan
memiliki semangat juang yang tinggi serta keikhlasan rela berkorban sebagai
mana dianjurkan dalam ayat Alquran surat ash-Shaff: 11. nama-nama para pendiri
tersebut adalah: (1) H. Abdurrahman Syihab, (2) H. Muhammad Arsyad Thalib
Lubis, (3) H. Ismail Banda, (4) H. Adnan Nur Lubis[11].
C. ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
v ANGGARAN DASAR AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Fasal 1. NAMA DAN KEDUDUKAN
Fasal 2. AZAS
Fasal 3. TUJUAN
Fasal 4. USAHA
Fasal 5. ANGGOTA
Fasal 6. HAK SUARA
Fasal 7. BERHENTI JADI ANGGOTA
Fasal 8. SUSUNAN PIMPINAN
Fasal 9. MUKTAMAR
Fasal 10. CABANG DAN RANTING
Fasal 11. PENGHASILAN
Fasal 12. MENGUBAH ANGGARAN DASAR
Fasal 13. ANGGARAN RUMAH TANGGA
Fasal 14. HAK PENGURUS BESAR
Fasal 15. MEMBUBARKAN
Fasal 16. PUSAKA.
v ANGGARAN RUMAH TANGGA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Fasal 1. ANGGOTA DAN KEWAJIBAN
Fasal 2. PENGURUS BESAR DAN DEWAN
FATWA
Fasal 3. AL-WASHLIYAH PUTRI
AL-WASHLIYAH PEMUDA
Fasal 4. PIMPINAN TERTINGGI
Fasal 5. MAJELIS PENGURUS BESAR
Fasal 6. PERATURAN TIAP-TIAP MAJELIS
Fasal 7. PIMPINAN
Fasal 8. KEWAJIBAN PIMPINAN
Fasal 9. RANTING
Fasal 10. MUKTAMAR
Fasal 11. MUSYAWARAT
D. AWAL BERDIRINYA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Berdirinya Al-Jam’iyatul Washliyah merupakan perluasan dari sebuah perkumpulan
pelajar. Pada awal pertumbuhannya ia banyak mengalami rintangan, terutama dalam
hal keuangan dan penataan organisasi. Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) merupakan
sebuah lembaga pendidikan agama yang didirikan pada tahun 1918 oleh orang-orang
Tapanuli Selatan. MIT sebagai madrasah dianggap modern pada zamannya, namun
masih tetap mempunyai cirri-ciri tradisional. Pelajar-pelajar MIT inilah yang
kemudian mendirikan suatu kelompok diskusi yang diberi nama “Debating Club”
pada tahun 1928[13].
Perkumpulan pelajar merupakan hal yang umum di kalangan pelajar-pelajar sekolah
umum. Di Medan, misalnya saat itu terdapat perkumpulan pemuda Jong Islamieten
Bond (JIB) cabang Medan, yang didirikan oleh pelajar-pelajar Indonesia yang
belajar di sekolah Belanda pada tahun 1926[14]. Tetapi pelajar-pelajar MIT tidak
bergabung dalam perkumpulan ini, karena belum mampu berkomunikasi dalam
bahasa Belanda, yang sering kali dipergunakan JIB.
Debating Club dalam perkembangannya bukan hanya mengadakan diskusi pelajaran,
tetapi juga membahas persoalan di masyarakat, terutama mengenai perbedaan faham
di antara golongan-golongan. Agar bisa bergerak lebih luas, mereka bermaksud
mendirikan sebuah organisasi Islam, yang kemudian berhasil mereka dirikan
setelah mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali membahas hal tersebut, di ujung
tahun 1930. Pemberian nama organisasi tersebut mereka serahkan kepada guru
kepala MIT, Syekh Muhammad Yunus[15]. Beliau memberikan nama perhimpunan ini,
Al-Jam’iyatul Washliyah (Perhimpunan yang menghubungkan dan Mempertalikan).
Kemudian para pelajar membentuk panitia persiapan untuk merumuskan dan menyusun
Anggaran Dasar. Duduk sebagai ketua dan sekretaris dalam panitia tersebut
adalah Ismail Banda dan Arsyad Talib Lubis. Sehingga pada tanggal 30 November
1930 Al-Jam’iyatul Washliyah secara resmi berdiri[16].
Duduk sebagai pengurus I adalah Ismail Banda (Ketua), Abdurrahman Syihab (Wakil
Ketua), Arsyad Talib Lubis (Sekretaris) dan Syekh Muhammad Yunus (Penasehat).
Anggota pengurus seluruhnya berasal dari suku Tapanuli Selatan. Dalam
pembentukan pengurus disepakati pergantian pengurus setiap enam bulan sekali[17].
Sebenarnya masa kerja pengurus untuk satu periode ini relatif terlalu singkat,
tetapi organisasi ini ingin lebih cepat mengadakan evaluasi kerja. Ternyata
dalam periode pertama organisasi ini tidak dapat bergerak banyak, hanya
maengadakan tabligh yang bersifat
insidentil saja.
Setelah enam bulan kepengurusan pertama berjalan, sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan, maka Al-Jam’iyatul washliyah membentuk pengurus baru sebagai
berikut:
Ketua
I
: H. Ilyas (qadhi), (suku Mandailing)
Ketua II : Ismail Banda,
(suku Mandailing)
Penulis I : H. Mahmud
(qadhi) (suku Mandailing)
Penulis II : Adnan Nur, (suku
Mandailing)
Bendahara : H.M. Ya’cub, (suku Mandailing)
Pembantu : Abdurrahman Syihab, (suku
Mandailing)
Penasehat : Syekh Hasan Maksum,
(mufti) (suku Melayu)
Syekh Muhammad Junus, (suku Mandailing)[18]
Pada periode kedua ini muncul ide baru untuk menggerakkan Al-Jam’iyatul
washliyah dengan mengikut sertakan qadhi (ulama kerajaan). Qadhi mempunyai
pengaruh atas Sultan, kare ia adalah aparat kerajaan dan mera bermazhab sama.
Pada periode ini Al-Jam’iyatul washliyah diminta oleh masyarakat Firdaus dekat
Rampah untuk membuka madrasah. Madrasah tersebut diberi nama Hasaniyah. Nama
ini dipakai karena nama Syekh Hasan Maksum sangat terkenal di Sumatera Timur.
Pada akhir tahun 1931, Al-Jam’iyatul washliyah kembali mengadakan pergantian
pengurus untuk periode ketiga. Dalam periode III ini, Ismail Banda mantan ketua
Al-Jam’iyatul washliyah pada periode I, berangkat ke Makkah untuk melanjutkan
belajarnya. Mantan penulis II Adnan Nur, masuk menjadi anggota Gerindo (gerakan
Indonesia). Oleh karena kedua orang tersebut mempunyai pengalaman lebih banyak
dalam bidang oraganisasi, maka kepergian mereka melemahkan penataan kegiatan
Al-Jam’iyatul washliyah. Pada tahun 1932 Al-Jam’iyatul washliyah kembali
mengadakan pemilihan pengurus untuk periode IV dengan susunan sebagai berikut:
Ketua I : T.M. Anwar
(bangsawan), suku melayu.
Ketua II : Abdurrahman
Syihab, suku Mandailing
Sekretaris I : Udin Syamsuddin (aktivis muda),
suku Mandailing.
Sekretaris II : H. Yusuf Ahmad Lubis (qadi) suku Mandailing
Penasehat : Syekh Hasan Maksum (Imam
Paduka Tuan) suku melayu
H. Ilyas (qadhi) suku Mandailing
Syekh Muhammad Yunus (Kepala MIT) suku Mandailing[19].
Pada masa ini Al-Jam’iyatul washliyah lebih aktif bergerak karena ada dua
pendatang baru dalam kepengurusan organisasi yakni T.M. Anwar seorang bangsawan
berasal dari Tanjung Balai, ia dikenal ramah, dermawan dan tergolong kaya.
Abdurrahman Syihab mengajak T.M. Anwar untuk turut bersama membina dan membantu
Al-Jam’iyatul washliyah dengan membiayai sewa rumah untuk kantor organisasi.
Bantuan tersebut hanya setahun, namun sangat berarti bagi organisasi ini. Dalam
masa 7 tahun Al-Jam’iyatul washliyah berpindah-pindah kantor sebanyak 10 kali.
Pendatang kedua adalah Udin Syamsuddin. Dengan dana yang kecil,
sekretaris ini berusaha menata organisasi dengan baik.
Al-Jam’iyatul washliyah berhasil membuka cabang di daerah Bedagai pada tahun
1931, di wilayah kerajaan Asahan didirikan cabang di Tanjung Balai pada akhir
tahun 1932, cabang Aek Kanopan didirikan pada awal tahun 1933, dan membentuk
berbagai ranting di sekitar kota Medan (Kampung Baru, Titi Kuning, Sungai Kerah
dan Pulau Brayan). Pada tahun 1934 menyusul di daerah Porsea, tapanuli Utara
dan Simalungun, juga di daerah Deli yakni Belawan dan Labuhan[20].
Jumlah cabang Al-Jam’iyatul washliyah terus bertambah. Oleh karena itu dirasa
perlu membentuk Pengurus Besar agar kegiatan organisasi dapat berjalan dengan
baik dan terkoordinasi.
Pada tahun 1934 seluruh cabang Al-Jam’iyatul washliyah menghadiri rapat
pembentukan Pengurus Basar, sehingga hasil rapat tersebut menentukan
kepengurusan besar; Ketua I Abdurrahman Syihab, Ketua II Arsyad Talib Lubis,
Sekretaris Udin Syamsuddin, Bendahara M. Ali.
E. AKTIVITAS
AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Pada tahun 1930 Al-Jam’iyatul Washliyah menyusun beberapa majelis, namun belum
dapat terlaksana. Setelah Pengurus Besar terbentuk pada tahun 1934 organisasi
ini dapat menggerakkan majelis-majelis yang telah disusun tersebut.
Adapun majelis-majelis yang digerakkan untuk intensifikasi kerja adalah;
majelis tabligh, yaitu majelis yang
mengurus kegiatan dakwa Islam dalam bentuk ceramah; majelis tarbiyah, yaitu majelis yang mengurus
masalah pendidikan dan pengajaran; majelis studie
fonds, yaitu majelis yang mengurus beasiswa untuk pelajar-pelajar di luar
negeri; majelis fatwa, yaitu majelis
yang mengeluarkan fatwa mengenai masalah sosial yang belum jelas status
hukumnya bagi masyarakat; majelis hazanatul
islamiyah, yaitu majelis yang mengurus bantuan sosial untuk anak yatim
piatu dan fakir miskin; dan majelis penyiaran Islam di daerah Toba[21].
Majelis Tabligh, Al-Jam’iyatul Washliyah seperti semua organisasi Islam
lainnya, sangat mementingkan agar ajaran Islam dapat dipahami oleh masyarakat
dengan baik. Agar maksud ini tercapai, maka organisasi ini memberikan dakwah
dengan tabligh dalam pendidikan
non-formal. Al-Jam’iyatul Washliyah mengadakan tabligh intern, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan para
anggota dan keluarganya serta yang bukan anggota. Pada umumnya isi tabligh intern berpusat pada masalah
fiqih seperti bersuci, shalat, puasa dan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah
praktis. Khusus kepada para anggota pengurus Al-Jam’iyatul Washliyah di
cabang-cabang, ditambahkan penerangan mengenai maksud dan tujuan organisasi
serat langkah-langkah kebijaksanaan yang harus diambil sesuai dengan kondisi
daerah.
Tabligh ekstern sifatnya lebih
terbuka untuk masyarakat luas, dan umumnya dilakukan pada waktu memperingati
hari-hari besar Islam, umpamanya pada perayaan Maulid, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri
dan Idul Adha. Tabligh intern
lazimnya diselenggarakan di masjid atau di madrasah, sedangkan tabligh ektern ada yang diadakan di
gedung bioskop atau lapangan terbuka, karena mengharapkan jumlah pengunjung
yang besar. Di daerah yang penduduknya belum beragama, seperti di Porsea,
Tapanuli Utara, tabligh ini diadakan
lebih intensif, kadang-kadang diiringi dengan kesenian (tarian dan gendang) di
pekarangan masjid. Tabligh merupakan
alat yang penting bagi organisasi ini dalam pendidikan non-formal[22].
Madrasah, Al-Jam’iyatul Washliyah
mendirikan madrasah pertama di jalan Sinagar, Petisah, Medan pada tahun 1932.
Banguna yang dijadikan madrasah adalah sebuah rumah yang disewa f 8,- per
bulan. Madrasah ini sudah mekakai sistem kelas, seperti sekolah model Barat, di
samping itu juga dalam kurikulumnya terdapat pelajaran Tafsir dan Hadis, sesuai
dengan madrasah modern Islam. Hal ini menunjukkan bahwa madrasah Al-Jam’iyatul
Washliyah berorientasi kepada pendidikan model barat dan pendidikan modern
Islam, kendati masih sangat sederhana[23].
Pada tanggal 28 Februari 1933
beberapa madrasah milik perseorangan anggota di Medan menggabungkan diri ke
dalam madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah. Madrasah-madrasah tersebut antara lain:
1.
Madrasah
kota Ma’sum, pimpinan M. Arsad Taib Lubis
2.
Madrasah Sei
Kerah, pimpinan Baharuddin Ali
3.
Madrasah
kampong Sekip, pimpinan Usman Deli
4.
Madrasah
Gelugur, pimpinan Sulaiman Taib
Demikianlah madrasah-madrasah
Al-Jam’iyatul Washliyah berdiri di Sumatera Timur, baik di Medan maupun di luar
kota Medan seperti di Labuhan Deli dan Simalungun. Madrasah tersebut berdiri
sebelun maupun sesudah cabang organisasinya berdiri di tempat tersebut.
Sehingga pada tahun 1940 organisasi ini mempunyai madrasah sebanyak 242 buah
dengan jumlah murid 12.000 orang[25].
Majelis Penyiaran Islam, majelis ini mempunyai kegiatan
khusus dengan tujuan menyiarkan Islam untuk memperluas pengetahuan tentang
islam di daerah-daerah yang telah beragama Islam; kegiatan umum dengan tugas
menyiarkan Islam ke daerah non-Islam terutama di daerah Toba (Batak Landen).
Pada tanggal 5 April 1933, Al-Jam’iyatul Washliyah untuk pertama kalinya
melangkah ke Porsea dengan mengirim beberapa mubaligh diantaranya adalah: H.
Abd Qadir, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. Hasyim dan Abdurrahman Syihab. Kedatangan
para mubaligh itu bertepatan pada bulan Syawal. Kesempatan ini dipergunakan
untuk bersilaturrahmi sambil memperhatikan keadaaan masyarakat untuk mengetahui
langkah selanjutnya dalam menyiarkan Islam di daerah itu. Kontak pertama
diadakan dengan para mubaligh di daerah itu adalah Guru Kitab Siberani, Sutan
Bengar dan Sutan Porsea[26]. Kemudian mereka bersama-sama memberikan dakwah
ke beberapa kampung selama tiga hari. Ternyata kunjungan mereka mendapat
sambutan masyarakat Islam di Porsea.
Masyarakat Batak Toba mayoritas
pelbegu dan masih kuat memegang adat. Walaupun mereka beragama
Islam atau Kristen.kepercayaan tradisional tetap masih mewarnai tingkah laku
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Usaha yang terpenting adalah bagaimana
menarik penduduk yang belum Islam menjadi Islam. Guru Kitab sebagai seorang
penduduk asli daerah Batak Toba juga pernah menganut kepercayaan asli sangat
mengenal tradisi kehidupan masyarakat Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba,
bila seorang raja menukar agamanya, maka seluruh seluruh rakyat di kampong itu
akan turut pula menukar agamanya. Tradisi ini dimanfaatkan oleh Guru Kita dalam
usahanya menggerakkan Al-Jam’iyatul Washliyah untuk mengadakan propaganda
Islam, jadi sasaran utamanya adalah mengislamkan seorang raja adat, kegemaran
masyarakat akan kesenian jiga dimanfaatkan sebagai alat propaganda, misalnya
tortor.
Dalam mengembangkan tradisi Islam
Al-Jam’iyatul Washliyah mendapat tantangan dari kepala adat Porsea. Namun
sedikit demi sedekit tantang tersebut dapat dilaluinya. Untuk mengurangi
pengaruh Kristen, Al-Jam’iyatul Washliyah memakai metode Zending dalam kegiatan
sosial. Nama Zending dipakai organisasi ini dengan menghilangkan Kristen
menjadi Islam, jadi “Zending Islam”. Zending Islam di Porsea mempunyai tugas
menyaingi Zending Kristen di Tapanuli dan berusaha menarik orang non Muslim
menjadi Muslim.
Dengan keberhasilan Al-Jam’iyatul
Washliyah mendirikan Zending Islam di Porsea, maka pada Kongres Majlis Islam
A’la Indonesia (MIAI[27]) yang ke III tahun 1938, Al-Jam’iyatul
Washliyah ditunjuk sebagai pemegang tugas Zending Islam di Indonesia. Dengan
keputusan MIAI tersebut, maka pandangan terhadap Al-Jam’iyatul Washliyah
menjadi berubah agak mengejutkan, sehingga kehadiran Al-Jam’iyatul Washliyah
mulai diperhitungkan untuk mengembangkan ajaran Islam. Keberhasilan tersebut
juga merupakan kebanggaan masyarakat Muslim Sumatera Timur.
F. PERAN
AL-WASHLIYAH DALAM MASYARAKAT
Al-Washliyah adalah salah satu organisasi Islam yang besar dan telah banyak memberikan
hal-hal terbaik buat pembangunan bangsa Indonesia. Tidak sedikit, dari lembaga
ini terlahir tokoh-tokoh yang kharismatik dan disegani serta telah memberikan
sumbangsih pemikiran dan karya nyata. Di awal berdirinya Al-Washliyah pada
tanggal 9 Rajab 1349 H/30 November 1930 M, diawali dengan niat perjuangan yang
suci untuk mempersatukan umat yang terpecah dan memupuk rasa tanggung jawab
(sense of responsibility) terhadap keadaan yang terjadi. Tokoh-tokoh
kharismatik seperti Syeikh H. Muhammad Yunus, H. A. Rahman Syihab, H.
Ismail Muhammad Banda, H. M. Arsyad Thalib Lubis dan lain-lain merupakan
ulama-ulama yang masyhur karena ilmunya, ketauladanannya (qudwah), dan
komitmennya untuk memperbaiki moralitas umat dan memajukan bangsa. Perjuangan
mereka benar-benar didasarkan kepada cita-cita yang suci bukan karena interest
pribadi (individu) atau kelompok tertentu. Akhirnya, mereka berhasil mewujudkan
mimpinya.
Ada beberapa point yang bisa kita
renungkan untuk menghidupkan kembali ghirah perjuangan Al-Washliyah ke depan.
Paling tidak, Al-Washliyah lebih mampu lagi menunjukkan kiprah dan karya
nyatanya membenahi moralitas umat dan mengisi pembangunan bangsa ini di
berbagai bidang, yang meliputi: pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, keagamaan
dan lain-lain. Akhirnya, Al-Washliyah tidak akan lagi berada di persimpangan
jalan. Point-point itu merupakan pengejawantahan dari cita-cita the founding
fathers kita, antara lain adalah:
Pertama, perjuangan suci. Membangun Al-Washliyah memang harus
dengan perjuangan. Dalam setiap perjuangan harus ada pengorbanan. Bersedia
berkorban (tenaga, pikiran, materi bahkan jiwa) adalah indikasi kesucian
perjuangan. Mengikhlaskan hati semata-mata hanya karena Allah adalah pintu
gerbang dalam perjuangan. Ikhlash itu bukanlah endingpasivitas (akhir
dari kemandegan) umat Islam. Ikhlash adalah totalitas pengabdian kepada Allah
SWT. Konsekuensinya: jalan kemudahan, terbukanya pintu rizki dan indikasi
kebahagiaan lainnya.
Kedua, jangan suka
melupakan sejarah. Hari ini banyak orang yang besar (popular) karena
Al-Washliyah, tapi ia sendiri lupa kepada Al-Washliyah yang telah
membesarkannya. Ketika seseorang memasuki wilayah politik praktis untuk menjadi
eksekutif atau pun legislatif maka ia akan mengatakan bahwa "ia adalah
salah satu kader Al-Washliyah untuk mendapatkan dukungan dari keluarga
besar Al-Washliyah yang telah tersebar di seluruh penjuru negeri ini".
Namun, setelah ia duduk di kursi yang diidamkan "apa yang sudah diberikan
untuk kemajuan Al-Washliyah?". Jangankan memberikan bantuan malah
"merongrong" dengan mengembangkan sikap otoriter, sewenang-wenang dan
lain-lain. Pengurus Al-Washliyah sudah seharusnya melakukan restrukturisasi
agar roda Al-Washliyah itu kembali berjalan secara baik.
Ketiga, membina
moralitas ukhuwah. Paling tidak, ada beberapa langkah yang harus kita tempuh:
a) Berangkat dari kepentingan umat (mashlahatul ummat) bukan kepentingan
pribadi atau kelompok. Sehingga siapapun yang memimpin organisasi akan disikapi
secara lapang dada selagi capabilitas-nya terpenuhi dan sesuai dengan
rambu-rambu organisasi; b) Saling bahu membahu (cooperate) antara satu dengan
lainnya dengan mengedepankan persamaan dan arif dalam menyikapi perbedaan yang
muncul; c) Bersikap terbuka terhadap kritik yang konstruktif; d) Beranjak dari
tekad dan tujuan yang sama untuk membangun Al-Washliyah.
Keempat, menumbuhkan
sense of belonging (rasa memiliki)
dan sense of responsibility (rasa
tanggung jawab). Bila sudah tertanam rasa memiliki maka akan mewujudkan
tanggung jawab. Jikalau kita punya sesuatu maka kita akan menjaga,
memeliharanya agar tidak rusak, diganggu dan hal-hal yang mafsadat lainnya.
Bila kita merasa memiliki Al-Washliyah maka kita akan memeliharanya.
Kelima, mewujudkan
yang terbaik. "Apa yang sudah saya berikan untuk Al-Washliyah?". Berbuat
dengan karya nyata sesuai dengan bidang masing-masing. Kader Al-Washliyah yang
di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, tenaga profesi: guru/dosen, dokter
dan lain-lain harus memberikan yang terbaik dengan menebar kemanfaatan buat
umat Islam. Paling tidak, menjadi qudwah (ketauladanan moral) di lingkungan
kerja kita masing-masing.
Keenam, warga
Al-Washliyah harus satu langkah dalam mengoptimalkan kekuatan ummat Islam demi
terwujudnya kemaslahatan ummat Islam itu sendiri. Ke depan, umat Islam harus
lebih cerdas, lebih dewasa, lebih tegas, lebih arif dalam menentukan arah
kehidupan dan menyikapinya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sumatera Timur sebagai kawasan perkebunan pada awal abad ke 19, menjadi
ajang migran dari luar negeri dan daerah-daerah sekitarnya. Migran Tapanuli
Selatan, Mandailing dengan bekal keterampilan dan pengetahuan yang mereka
miliki dapat membuka lembaga pendidikan yang diberi nama Maktab Islamiyah
Tapanuli (MIT), pada tahun 1918.
AL-Jam’iyatul Washliyah merupakan perluasan dari Debating Club, sebuah
perkumpulan pelajar MIT yang didirikan pada tahun 1928. Al-Jam’iyatul Washliyah
didirikan pada tahun 1930, bermazhab Syafi’i. Pada awal berdirinya organisasi
ini tidak dapat mengembangkan programnya karena kekurangan dana. Barulah pada
tahun 1934 organisasi ini dapat mengegrakakn majelis-majelis yang sudah disusun
pada awal berdirinya.
Majelis yang paling berhasil adalah majelis Tarbiyah dan majelis Tabligh. Dalam
mensyiarkan Islam Al-Jam’iyatul Washliyah menggunakan metode Tabligh, sehingga
dapat menyaingi Zending Kristen di daerah Tapanuli. Dengan prestasinya itu maka
Al-Jam’iyatul Washliyah patut diperhitungkan keberadaannya di tengah-tengah
masyarakat nasional dan khususnya di Sumatera Utara.
B.SARAN DAN HARAPAN
Dalam makalah ini tentunya kami menemukan beberapa
kesulitan, dan kami harapkan bapak dosen dan temen-temen memberikan masukan
maupun penjelasan. karena makalah ini masih banyak kekurangan dalam membuat
makalah tersebut.semoga makalah ini bermanfaat bagi kami amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Broegmans, Oostkust van Sumatera, Groningen: 1919.
Hasanuddin,
Chalijah, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942; Api Dalam Sekam di Sumatra
Timur. Bandung: Pustaka, 1988.
Noer,Deliar Gerkan
Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP2ES, 1980.
Pengurus Besar
Al-Djamijatul Washlijah. Al-Djamijatul Washlijah ¼ Abad, Medan: Pengurus
Besar Al-Djamijatul Washlijah. 1956
Proyek
Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki
Millenium III Kado Ulang Tahun AL-Washliyah ke-69; Membangun Kejayaan Dunia
Melalui Kejayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku 70
Tahun Al-Washliyah. 1999.
Sulaiman, Nukman, AL-Washliyah. Medan: Majlis Pendidikan Pengajaran
dan Kebudayaan Pengurus Besar Al-Jam’iyatul Washliyah, 1967,
Ya’cubM Abu bakar, Sejarah
Maktab Islamiyah Tapanuli, Medan: 1975.
[1] Chalijah
Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942; Api Dalam Sekam di Sumatera Timur
(Bandung: Pustaka, 1988), h. 1-2.
[2] Abu bakar
Ya’cub, Sejarah Maktab Islamiyah Tapanuli
(Medan: 1975), h. 7.
[3] Chalijah, Al-Jam’iyatul.
h. 2
[4] Pengurus Besar
Al Djamijatul Washlijah. Al Djamijatul Washlijah ¼ Abad, (Medan:
Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956) h. 35
[5] Pengurus Besar,
Washlijah ¼ Abad, h. 36
[6] Deliar Noer, Gerkan Modern Islam di Indonesia
(Jakarta: LP2ES, 1980), h. 21.
[7] Pengurus Besar,
Washlijah ¼ Abad, h. 37 dan 342.
[8] Deliar Noer, Gerkan. h. 266.
[9] Pengurus Besar,
Washlijah ¼ Abad, h. 3
[10] Proyek
Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki
Millenium III Kado Ulang Tahun AL-Washliyah ke-69; Membangun Kejayaan Dunia
Melalui Kejayaan Islam di Indonesia (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku 70
Tahun Al-Washliyah, 1999), h. 18
[13] Chalijah, Al-Jam’iyatul,
h. 34
[14] Broegmans, Oostkust van Sumatera (Groningen: 1919),
h. 86.
[15] Beliau adalah
seorang tokoh ulama bermazhab Syafi’i yang independent berada du luar birokrasi
kerajaan. Lihat Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul
Washliyah 1930-1942; Api Dalam Sekam
di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 35
[16] Chalijah, Al-Jam’iyatul,
h. 36
[17] Pengurus
Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 39
[18] Pengurus
Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 39
[19] Chalijah, Al-Jam’iyatul,
h. 39
[20] Chalijah, Al-Jam’iyatul,
h. 41
[21] Chalijah, Al-Jam’iyatul,
h. 62
[22] Pentingnya tabligh sering dikemukakan dalam
ceramah, umpamanya dalam rapat umum di Bagan Asahan, Sinar Deli 17 Februari 1934.
[23] Chalijah, Al-Jam’iyatul,
h. 76
[24] Pengurus
Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 41
[25] Chalijah, Al-Jam’iyatul,
h. 77-88
[26] Pengurus
Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 54
[27] MIAI didirikan
di Surabaya, tujuan oraganisasi ini menghimpun semua organisasi Islam tanpa
memperhatikan perbedaan paham. Lihat, Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942;
Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 147
No comments:
Post a Comment