Breaking News
SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI
ASSALAMU'ALAIKUM Wr.Wb

my blog

enamberita.blogspot.com

Saturday 15 October 2016

MAKALAH MASAIL FIQIYAH


BAB I
PENDAHULUAN

I.       Latar Belakang
            Penentuan awal Ramadhan merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji. Manakala dasar pijakan hukumnya sama, namun dalam dataran implementasinya sering terjadi perbedaan. Di samping itu, walaupun penentuan awal ramadhan, 1 syawal, dan Dzulhijjah ini merupakan persoalan klasik. Namun, kiranya selalu muncul actual terutama menjelang awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Tidak mengherankan saat menjelang Ramadhan sering terjadi perselisihan dan perbedaan di tengah-tengah masyarakat.
            Kaum Muslim di seluruh dunia bakal menjalani salah satu rukun Islam yakni berpuasa di bulan Ramadhan. Namun, penentuan 1 Ramadhan membutuhkan perhitungan matang dan akurat. Hal itu disebabkan kalender Islam (Qomariyah) merujuk pada perputaran bulan sedangkan perhitungan kalender masehi, kalender yang digunakan di Indonesia merujuk pada perputaran matahari (Syamsiyah). Sebabnya, penentuan 1 Ramadhan harus didahului dengan memastikan apakah bulan baru telah muncul di ufuk timur atau dalam ajaran Islam disebut (hilal).
            Di Indonesia, terdapat dua metode yang dipergunakan dalam penetapan awal puasa ramadhan. Metode pertama dikenal dengan istilah rukyat. Metode ini menggunakan pandangan mata apakah bulan baru telah muncul saat maghbrib atau tidak. Metode kedua dikenal dengan istilah hisab. Metode hisab menentukan 1 Ramadhan dengan perhitungan matematika astronomi.
            Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan mencoba membahas secara global mengenai polemik tersebut.

II.    Rumusan Masalah
1.      Apakah Dasar Penetapan Awal Ramadhan dan 1 Syawal?
2.      Bagaimanakah Metode Penetapan Awal Bulan Ramadhan?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dasar Penetapan Awal Ramadhan dan 1 Syawal
            Puasa Ramadhan wajib dilakukan apabila sudah terlihat adanya bulan baru. untuk kepastiannya, dapat dilakukan beberapa cara:
a)      Dengan tampaknya bulan di malam tiga puluh Sya’ban. Hal ini memungkinkan apabila cuaca terang dan tidak terdapat mendung yang menghalangi penglihatan.
Dalam Hadits, Nabi SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan."
 (HR. Bukhari dan Muslim)
             Selain itu, Imam Muslim juga meriwayatkan hadits:
إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
" Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal
 ( Syawal ), maka berbukalah." (HR Muslim).
            Jika bulan dapat terlihat maka kita wajib berpuasa esok harinya. Jika bulan tidak terlihat ketika cuaca yang terang maka kita tidak boleh berpuasa esok harinya, namun jika bulan tidak terlihat karena udara mendung maka kita harus memulai puasa esok harinya. Hal ini sesuai dengan madzhab ibn umar berdasarkan hadits Nabi SAW:
إنّماالشّهرتسع وعشرون فلا تصوموا حتّى تروه ولاتفطروا حتّى تروه فإن غمّ عليكم فاقدرواله.
“Sesungguhnya bulan itu 29 hari. Maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka, sehingga kamu melihatnya. Tapi jika mendung, kadarkanlah olehmu untuknya.”
            Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “maka kadarkanlah untuknya”. Menurut pendapat ahli bahasa, maknanya: maka takdirkanlah dia.  Jumhur ulama dari golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa maknanya sempurnakanlah 30 hari. Segolongan ulama berpendapat maknanya: pandanglah dia, sudah ada di bawah awan. Segolongan yang lain berpendapat: pergunakanlah hisab. Jumhur ulama mamaknakan “maka kadarkanlah untuknya” dengan “sempurnakanlah”, mengingat bahwa hadits harus ditafsirkan dengan hadits. Ungkapan “maka kadarkanlah untuknya” ditafsirkan oleh perkataan “maka sempurnakanlah 30 hari”.
b)      Dengan menggenapkan (ikmal) bulan Sya’ban tiga puluh hari.[1]
      Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga puluh hari, maksudnya bulan tanggal Sya’ban itu dilihat. Tetapi kalau bulan tanggal satu Sya’ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan hitungan, sempurnanya tiga puluh hari.[2]
صوموالرؤيته وافطروالرؤيته فان غمّ عليكم فاكملوا عدّة شعبان ثلاثين (رواه البخاري
            Artinya : Berpuasalah kamu setelah melihat bulan( di bulan Ramadhan), dan berbukalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Syawal). Maka jika ada yang mengahalangi (mendung) sehingga bulan tidak kelihataan, hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari. (HR.Bukhari).
B.     Metode Penetapan Awal Bulan Ramadhan
            Dalam penentuan awal bulan Rmadhan, 1 Syawal terdapat dua metode yaitu Rukyat dan Hisab.
1)        Itsbat Rukyah
            Artinya menetapkan bahwa bulan sabit sudah kelihatan. Sebagai konsekuensinya, maka semua wajib memulai puasa Ramadhan atau berlebaran. Itsbat rukyah itu harus dengan kesaksian seorang saksi yang adail (jujur dan tidak fasik). Saksi itu boleh laki-laki atau perempuan. Menurut mahdzab rukyah, rukyah hanya diartikan sebatas melihat dengan mata kepala (mata telanjang/tanpa alat).
            Ru’yah dari sesorang penduduk suatu negeri mewajibkan puasa bagi semua penduduk negerinya dan juga bagi negeri-negeri tetangganya. Hal ni merupaan pendapat dari Al-lais dan sebagian pengikut As-Syafi’i. dalam masalah ikhtilafu mathla’ ada dua pendapat, yaitu:
a.     Pendapat jumhur ulama’
            Jumhur ulama’ berpendapat bahwa perbedaan mathla’ itu tidak menjadi perhatian. Apabila suatu negeri telah melihat bulan, maka wajiblah puasa atas semua negeri. Hal ini didasarkan dari hadits nabi:


صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)
b.    Pendapat sebagian kecil ulama’
            Mereka berpegah teguh pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan At-Turmudzi dari Kuraib
            “saya datang ke Syam dan masuklah bulan Ramadhan, ketika saya berada disana maka saya melihat hilal pada malam jum’at. Diakhir bulan saya kembali ke Madinah. Maka ibnu Abbas bertanya kepada saya “kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “kami melihatnya pada malam jum’at.”Ibnu Abbas berkata : “apakah kamu sendri ang melihatnya?”aku menjwab:”benar dan orang lain melihatnya, karenanya Muawiyah dan  orang disana berpuasa” kata Ibnu Abbas: “akan tetapi kami melihatnya malam sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga cukup 30 atau kami melihat bulan sendiri.” Aku berkata “tidaklah anda mencukupi dengan ru’yah muawyah dan puasanya?” ibnu Abbas menjawab: ”tidak,” demikianlah kami diperintahkan Rosullullah SAW ”.
            Hadits ini menetapkan, bahwa apabila telah pasti ru’yatul hilal disuatu Negara, wajiblah puasa dinegara itu dan Negara yang dekat dengannya yang segaris lurus tidak Negara-negara yang lain.[3]
            Ru’yah umumnya dilkukan di tepi pantai atau di atas dataran tinggi (seperti gunung atau bukit), karena kedua tempat tersebut merupakan lokasi bebas halangan untuk melihat hilal di ufuk bagian barat.
2)   Hisab
            Mahdzab hisab, penentuan awal dan akhir bulan Qomariyah didasarkan perhitungan falak. Menurutnya, istilah rukyah yang terdapat dalam hadits-hadits hisab rukyah dinilai bersifat ta’aqquli-ma’qul al ma’na, dapat dirasionalkan, diperluas dan dikembangkan. Sehingga dapat diartikan mengetahui sekalipun bersifat dzanni(dugaan kuat) tentang adanya hilal.
            Dalam Khazanah ilmu hisab dikenal beberapa metode untuk menentukan ijtima’ (konjungsi) dan posisi hilal dan awal Ramadhan. Beberapa metode tersebut yakni:
a.       Metode hisab haqiqi taqribi: Kelompok ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan table ulugh bek dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini dilakukan hanya dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, tanpa mempergunakan ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonometri)
b.      Metode hisab haqiqi tahqiqi. Metode ini diambil dari kitab almathla’ al-Said Rushd al-Jadid yang berakar dari system astronomi serta matematika modern yang asal muasalnya dari system hisab astronom muslim. System ini mempergunakan table-tabel yang sudah dikoreksi dan perhitungan yang relative lebih rumit daripada kelompok hisab haqiqi taqribi serta memakai ilmu ukur segitiga bola.
c.       Metode hisab haqiqi kontemporer. Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan metematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab haqiqi tahqiqi hanya saja system koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.  

C.    ANALISIS MASALAH
            Dalam masalah mengenai penetapan awal bulan ramadhan dan satu syawal yang dikiblatkan pada hadist nabi صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته , dari kata rukyat itu terdapat dua pengertian dari Ru’yah yaitu ru’yah bi al-‘ain (melihat dengan mata) dan ada juga yang mengartikan ru’yah bi al ‘ilm (melihat dengan ilmu atau rasio) melalui penghitungan ilmu hisab.
            Selain itu jika dilihat dari aspek sosio historis dan asbabul wurudl hadits diatas ditujukan oleh nabi pada penduduk Madinah yang mempunyai posisi geografis yang berbeda dengan Makkah. Berdasarkan data-data historis, Makkah merupakan kota yang bertaraf internasional dan sentral peradaban Arab. Sedangkan Madinah merupakan daerah agraris yang subur.
            Akibat letak geografis yang berbeda antara Makkah dan Madinah menghasilkan tradisi dan peradaban yang berbeda. Masyarakat Makkah lebih terbuka dan telah mengenal tradisi menghitung akibat kontak perdagangan dengan Parsi, sehingga Ru’yah disini dilakukan dengan metode hisab. Sementara masyarakat Madinah cenderung pasif dan statis serta tidak terbiasa dengan proses penghitungan yang rumit, sehingga ru’yah disini dilakukan dengan melihat bulan dengan mata.[4]
            Para ahli telah berusaha merumuskan beberapa hal yang dapat mempengaruhi imkanurrukyah untuk hilal (bulan sabit), antara lain :
a.       Umur bulan sejak ijtima’ (konjungsi), hal ini mempengaruhi ketinggian hilal pada saat matahari terbenam.
b.      Beda azimuth matahari (saat terbenam) dengan azimuth bulan/ hilal. Bila jarak antara bulan/ hilal dan matahari terlalu dekat, maka warna hilal sulit untuk dibedakan dengan warna awan yang berada di sekitar hilal tersebut, sebab hilal tersebut tidak mengeluarkan cahaya, tetapi hanya memantulkan cahaya matahari, jadi sama halnya dengan awan disekitarnya dan karena pantulan awan lebih kuat, maka cahaya hilal kalah dengan cahaya yang dipantulkan awan sehingga sulit untuk dilihat.
c.       Tempat melakukan pengamatan, seperti tinggi rendahnya tempat pelaksanaan rukyat, jarak antara tempat rukyat dengan khatulistiwa dan lain sebagainya.
d.      Peralatan yang digunakan
e.       Tingkat kecerahan ufuk.
            Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih akurat menurut penulis penetapan awal Ramadhan perlu dikorelasikan lebih lanjut antara penggunaan metode hisab dengan pembuktian melalui rukyah. Hal ini sesuai dengan hasil keputusan musyawarah imkanurrukyah antara pimpinan Ormas Islam dan MUI tingkat pusat dengan Menteri Agama, pada hari Senin, 28 September 1998/ 7 Jumadil Tsani 1419 H di Jakarta yang memutuskan bahwa: 1) Penentuan Awal bulan Qomariyah didasarkan pada Sistem Hisab Hakiki Tahkiki dan atau Rukyah. 2) Penentuan Awal Bulan Qomariyah yang terkait dengan pelaksanaan Ibadah Mahdhah yaitu awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditetapkan dengan mempertimbangkan hisab hakiki tahkiki dan rukyat. 3)Kesaksian rukyat hilal dapat diterima apabila ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima’ ke ghurub matahari minimal 8 jam. 4) Kesaksian rukyat hilal dapat diterima, apabila ketinggian hilal kurang dari 2 derajat, maka awal bulan ditentukan berdasarkan istikmal. 5) Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan.
            Hal ini merupakan beberapa langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka mempersatukan umat terkait penentuan awal dan akhir Ramadhan yang merupakan implikasi dari QS. Al Baqarah : 185 yang menyampaikan bahwa dalam pelaksanaan puasa, haruslah terpenuhi syarat sudah masuk bulan Ramadhan yang dapat diketahui dengan tampaknya hilal awal bulan.
            Untuk mengurangi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi perbedaan cara menentukan awal bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa sebaiknya umat Islam mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam negara  masing-masing. Untuk negara Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Itu semua demi maslahat persatuan.



BAB III
KESIMPULAN

            Puasa Ramadhan wajib dilakukan apabila sudah terlihat adanya bulan baru. untuk kepastiannya, yaitu dengan menggunakan dasar yang telah ditetapkan nabi dan juga para ulama’ baik ulama’ pada zaman dahulu maupun ulama’ sekarang yang juga harus disepakati dengan ketetapan dari pemerintah. Adapun dasar yang dijadikan pedoman untuk menentukan awal ramadhan yaitu berdasarkan hadits nabi yang artinya " Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim).
            Dari hadits tersebut diperoleh dua metode dalam penetapan awal ramadhan dan satu syawal yaitu dengan itsbat rukyah dan itsbat hisab. Itsbat rukyat Artinya menetapkan bahwa bulan sabit sudah kelihatan. Sedangkan itsbat hisab artinya menentukan awal ramadhan dengan cara menghitung menggunakan ilmu falak.

 PENUTUP
            Demikian makalah ini kami buat,  kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini pasti masih ada banyak kekurangan. Oleh karenanya untuk kesempurnaan makalah ini, kami selaku pemakalah mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhirnya semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.










DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pedoman Puasa. Semarang: PT. Pustaka Rizqi          Putra. 2000
Azhari, Susiknan. HISAB & RUKYAT. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam Cetakan ke 50. Bandung : Sinar Baru Algensindo. 2011
Syihab. Zainal Abidin. Tuntunan Puasa Praktis. Jakarta : Bumi Aksara. 1995






[1] Zainal Abidin Syihab.Tuntunan Puasa Praktis. (Jakarta : Bumi Aksara, 1995). Hlm.23
[2] Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam Cetakan ke 50 (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2011). Hlm.221
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2000) . Hlm.63
[4] Susiknan Azhari, 2007, HISAB & RUKYAT, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 66-67

No comments:

Post a Comment

Designed By