Breaking News
SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI
ASSALAMU'ALAIKUM Wr.Wb

my blog

enamberita.blogspot.com

Saturday 15 October 2016

MAKALAH TAFSIR SURAT AL-FATIHAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Surat Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam Al Qur’an dan terdiri dari 7 ayat adalah masuk kelompok surat Makkiyyah, yakni surat yang diturunkan saat Nabi Muhammad di kota Mekah. Dinamakan Al-Fatihah, lantaran letaknya berada pada urutan pertama dari 114 surat dalam Al Qur’an. Para ulama bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini merupakan intisari dari seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian dirinci oleh surat-surat sesudahnya. Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah, yaitu surat yang diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surat ini berada di urutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari tujuh ayat. Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang kafir serta pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung karena taat kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya, semua itu tercermin dalam surat Al Fatihah.
            Kedudukan surat Al-Fatihah di dalam Al-Qur’an adalah sebagai sumber ajaran Islam yang mencakup semua isi Al-Qur’an. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: “Al-Hamdulillah (Al-Fatihah) adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, As-Sab’ul Matsaani dan Al-Qur’anul Adhim.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih). Dinamakan dengan Ummul Kitab atau Ummul Qur’an, yaitu induk Al-Qur’an, karena di dalamnya mencakup inti ajaran Al-Quran.
B.     Rumusan Masalah
1.      Surat Al-Fatihah Dan Terjemahannya
2.      Penjelasan Kedudukan Surat Al Fatihah Dalam Al Qur’an
3.      Tafsir Surat Al-Fatihah
4.      Penjelasan Pokok-pokok Ajaran Dalam  Surat Al Fatihah
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Surat Al-Fatihah dan Terjemahannya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)  [الفاتحة : 1 - 7] 
  1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
  3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang;
  4. Yang menguasai Hari Pembalasan.
  5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
  6. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus;
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
B.     Penjelasan Umum Surat Al-Fatihah
            Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di Mekkah.[1]Namun menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali, sekali di Mekkah, sekali di Madinah.[2] Ia merupakan surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali diturunkan adalah Surah al-Alaq.[3]
            Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.[4]Selain al-Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah sebutan untuk al-Lauh al-Mahfuzh.[5]  Selain kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh nama, di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup),[[6]asy-Syafiyah (yang menyembuhkan),[7] dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).[8]
C.    Kedudukan Surat Al Fatihah Dalam Al Qur’an
            Surat al-Fatihah memiliki kedudukan yang tinggi dalam al-Quran; karena merupakan surat yang paling agung, sebagaimana ayat kursi merupakan ayat yang paling agung.
            Saking pentingnya surat ini, ia dicantumkan di awal mushaf. Oleh karena itu, ia disebut juga “Faatihatul kitab” (Pembukaan Al-Quran). Ini menunjukkan betapa penting dan tingginya kedudukan surat ini, sebab ia tidak dikedepankan maupun dicantumkan di awal mushaf, melainkan karena kedudukannya yang amat penting.
D. Tafsir Surat Al-Fatihah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [الفاتحة 
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
            Kalimat basmalah tersebut bermakna: “Aku memulai bacaanku ini seraya memohon berkah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Idiom “nama Allah” berarti mencakup semua nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba harus memohon pertolongan kepada Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama Allah yang seusai dengan permohonannya. Permohonan pertolongan yang paling agung adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Dan yang paling utama lagi adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-Nya, dan meminta petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.[9]
            Allah adalah Dzat yang harus disembah. Hanya Allah yang berhak atas cinta, rasa takut, pengharapan, dan segala bentuk penyembahan. Hal itu karena Allah memiliki semua sifat kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya.[10] الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ 
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
            Ayat ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan. Kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal saleh.[11]

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3)
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
            Kedua kata tersebut adalah kata sifat yang berakar pada satu kata, yaitu ar-rahmah. Secara bahasa, kata rahmat berarti kasih di dalam hati yang mendorong timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat untuk menggambarkan sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih sepakat untuk menyatakan bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam Dzat Allah. Kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari efek dari sifat kasih sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan.[12]
Banyak para ulama yang membedakan antara makna ar-Rahmandan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan sifat ar-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rahim merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat khusus.[13]
            Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya yang diberi kenikmatan.[14]
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)
Yang menguasai di hari Pembalasan
            Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan  huruf mim dibaca panjang (mad).Sedangkan para qari yang lain membacanya dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik  bermakna Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.  Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[15]
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan.”  Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين) berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan. Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan.[16] Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan neraka.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
            Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ)Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.[17]
            Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.[18]
            Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.[19]
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) 
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus,
            Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَاx) berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.”[20]
            Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf Utsmani.Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط).  Ketiga, dibaca dengan huruf zay (ز), sehingga menjadi (الزِراَط).[21]  Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.[22]
            Kataاهْدِنَا  berasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun perbuatan– kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah kepada manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Hidayah kedua adalah melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah ini terkadang disandarkan kepada Allah, para rasul-Nya, atau Alquran. Hidayah tingkatan ketiga adalah hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan baik mereka. Hidayahkeempat adalah hidayah yang telah ditetapkan oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah, maka Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abi Thalib, untuk masuk Islam.[23]
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
 (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
            Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[24]
            Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.[25]
D.    Pokok –pokok Ajaran Dalam Surat Al Fatihah

Telah disebutkan diatas, bahwa Surat Al- Fatihah adalah sebagai induk dari Al- Qur’an seluruhnya, yakni didalam surat Al- Fatihah ini terdapat kesimpulan atau intisari dari isi Al- Qur’an. Al- Qur’an diturunkan di waktu umat manusia di seluruh penjuru alam ini amat membutuhkan tuntunan dan hidayah yang akan menuntun mereka kepada ketentraman jiwa dalam segala segi- segi hidup dan kehidupan.
Jika manusia tidak puas, malah tidak mengingini keadaan yang berlaku dalam masyarakat. Dimana saja di waktu itu dunia telah dipenuhi dengan keadaan- keadaan yang tidak wajar, i’tikad dan kepercayaan yang bukan- bukan terhadap Allah dan Rasul- Rasul- Nya, pemuka agama, raja- raja, pemimpin- pemimpin dan syekh- syekh kabilah yang mempunyai kekuasaan yang tidak terikat sedikitpun. Akhlak dan budi pekerti serta tindakan- tindakan yang amat bertentangan dengan peri kemanusiaan, seakan- akan orang telah lupa kepada ajaran- ajaran yang dibawa oleh nabi- nabi dan rasul- rasul sebelum nabi Muhammad.
Maka kedatangan Al- Qur’an adalah untuk memenuhi tuntutan jiwa yang hendak lepas dari belenggu kepercayaan- kepercayaan, hukum dan peraturan- peraturan, adat istiadat atau tradisi- tradisi serta dongeng- dongeng yang tidak selaras lagi dengan akal dan fikiran yang selalu berkembang dan selalu menuju kepada kesempurnaannya.
Untuk memenuhi aspirasi jiwa ini, Al- Qur’anul Karim datang dengan membawa aqaid (keimanan), hukum- hukum dan peraturan- peraturan, janji- janji dan ancaman- ancaman (peringatan) serta kisah- kisah tentang umat- umat yang telah berlalu yang dapat dijadikan pelajaran dan i’tibar, agar manusia hidup aman dan tentram, berbahagia dunia akhirat. Dengan ringkas dapat disimpulkan bahwa isi Al- Qur’an itu kepada pokok- pokok sebagai berikut :

1.      Keimanan (‘aqaid).
2.      Ibadat.
3.      Hukum- hukum dan peraturan- peraturan.
4.      Janji dan ancaman.
5.      Kisah- kisah atau cerita- cerita.

·         Keimanan ( Aqa’id )
Keimanan inilah yang pertama kali dibawa oleh Al- Qur’anul Karim yang diajarkan oleh Muhammad SAW, nabi- nabi dan rasul- rasul yang telah diutus sebelum Muhammad SAW pun menanamkan keimanan ini pula pada pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dibawa oleh Al- Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, rasul- rasul- Nya, malaikat- malaikat- Nya, kitab- kitab yang telah diturunkan- Nya, hari akhirat, serta qada’ dan qadar.
Di waktu Al- Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh rasul- rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang khalis (murni) tidak ada lagi. Kepada umat- umat yang dahulunya, telah pernah diutus rasul- rasul kepada mereka, dan telah pernah mempunyai kitab- kitab samawi, namun kemudian mereka telah memandang rasul- rasul, orang- orang shaleh, malaikat- malaikat sebagai Tuhan. Kitab- kitab samawi yang dibawa oleh nabi- nabi dan rasul- rasul kepada mereka sudah dirobah- robah oleh tangan mereka sendiri.
Bangsa Arab, biarpun yang telah pernah menganut ajaran- ajaran Nabi Ibrahim, maupun yang tidak, rata- rata telah menjadi penganut kepercayaan wasani, penyembah patung- patung dan dewa- dewa, sehingga menurut riwayat di sekitar Ka’bah terdapat 360 buah patung. Maka datanglah Al- Qur’anul Karim untuk mensucikan akidah manusia dari kotoran- kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang semurni- murninya, yang tidak dicampuri sedikit juga oleh kepercayaan- kepercayaan dan perbuatan- perbuatan membesarkan sesuatu dalam alam ini.
Akidah tauhid dibawa oleh Al- Qur’anul Karim itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas. Akidah yang paling sempurna yang dapat dicapai oleh akal, yang paling sempurna yang dibawa oleh agama. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain- Nya adalah makhluk. Tak ada permulaan- Nya, dan tak ada kesudahan- Nya. Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Mengetahui. Ilmunya meliputi segala sesuatu, tidak ada suatu juga yang serupa dengan Dia, alam semesta ini makhluk Allah. Yang akan lenyap dan habis dengan kehendak Allah, sebagaimana dia ada, adalah dengan kehendak Allah.
Didalam Surat Al- Fatihah, akidah tauhid ini didapat dalam ayat- ayat :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam ”
Jadi maksud ayat ini : “ Semua puji itu untuk Allah, Tuhan semesta alam ”. Yakni : yang berhak dipuji adalah Allah, maka pujian itu haruslah dihadapkan kepada- Nya.
Seseorang dipuji adalah karena sifat- sifat yang mulia yang berada pada dirinya, atau karena perbuatan- perbuatan, jasa- jasa dan budi baiknya. Oleh karena puji itu semata- mata adalah untuk Allah sajalah yang mempunyai sifat- sifat yang sempurna, yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya.
Pernyataan bahwa Allah sajalah yang mempunyai sifat- sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat- nikmat dan karunia, inti dari Keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah serta segala sifat kesempurnaan- Nya, dan akidah tauhid yang semurni- murninya itu adalah salah satu dari ajaran Islam yang terpenting, sebab itu didalam ayat ini ditegaskan lagi bahwa Allah Rabb bagi semesta alam.
Kata Rabb itu selain “ Yang Punya” juga berarti “ Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelaslah bahwa sesuatu apapun yang berada di alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang menyekutui Dia dalam hal ini. Sejalan dengan ini maka makhluk itu bagaimana kecil dan halusnya, dan jauh dari tempatnya dibawah pengetahuan, lindungan, pemeliharaan Allah. Allah telah memberi kepada makhluk- Nya suatu bentuk, lalu dikaruniai Nya akal, naluri- naluri (instink) dan kodrat- kodrat alamiah, yang dapat dipergunakannya untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu makhluk itu tidak dilepaskan saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga Nya.
Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam- dalamnya, dan memang dari dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para ahli fikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna pula bagi masyarakat.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“ hanya kepada Engkaulah kami menyembah “ dan” hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”
            Ayat ini juga berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid itu. Ayat ini berarti bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon sesuatu pertolongan. Jadi manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Dia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung kepada Allah, Khaliknya itu dengan tidak ada perantaraan apapun juga.
            Dengan ini terbongkarlah dengan akar- akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan sesuatu apapun selain Allah) kepercayaan wasani (menyembah dewa- dewa, matahari, bulan, bintang- bintang, dan lain- lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan yang lain sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Dan seterusnya, menerangkan akidah tauhid, kalau tidak jelas, maka dengan secara dibayangkan, sebagaimana akan kelihatan nanti pada tafsir masing- masing ayat ini.
·         Ibadat
Ibadat ini adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat- sifat kesempurnaan- Nya, seseorang yang meyakinkan adanya segala sifat- sifat kesempurnaan- Nya itu, dia akan menyembah Allah. Ibadat ini telah dibayangkan didalam Surat Al- Fatihah dengan firman- Nya :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ 
“ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”
Didalam ayat ini Allah mengajari hamba- Nya supaya menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung akidah tauhid, juga mengandung ibadat kepada yang Maha Esa itu.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
 “ Tunjukilah Kami kejalan yang lurus ”
Untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan di akhirat, Allah mengadakan peraturan- peraturan, hukum- hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh- contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang dibentangkan Allah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu.
Menjalani jalan yang lurus ini artinya ialah beribadat kepada Allah, dengan mematuhi peraturan- peraturan, menjalankan hukum- hukum, dan berpegang kepada akidah yang benar, melaksanakan pelajaran- pelajaran dan mengambil tauladan kepada contoh- contoh yang telah diberikan Allah, menurut yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat- ayat yang lain, yang jadi uraian bagi inti pati yang telah disebutkan di surat Al- Fatihah ini.
Ibadat itu tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadat, karena ibadat itu adalah buah dari tauhid, dan tak adalah dia mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidupnya didalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadat.
Sebab itu didalam surat Al- Fatihah ini, disamping disebut tauhid, disebut juga oleh Allah ibadat. Kedua- duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan- penjelasan pada ayat- ayat yang lain didalam surat- surat yang berikut.
·         Hukum- hukum dan Peraturan- peraturan
Telah disebutkan diatas, bahwa untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengadakan Hukum- hukum dan peraturan- peraturan ini ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah dan ada yang berhubungan dengan masyarakat dan siasat kenegaraan dan yang lainnya.
Didalam Al- Qur’anul Karim banyak didapati ayat- ayat yang berhubungan dengan hukum- hukum dan peraturan- peraturan ini. Semua ayat- ayat ini adalah penjelasan bagi apa yang telah dicantumkan dalam Surat Al- Fatihah Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan- peraturan dalam firmannya :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ   
“ Tunjukilah kami kejalan yang lurus ”
Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, yaitu akidah- akidah (kepercayaan) yang benar, hukum- hukum dan peraturan- peraturan, pelajaran- pelajaran yang dibawa oleh Al- Qur’an sebagai disebutkan diatas.
·         Janji dan Ancaman
Al- Qur’anul Karim juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebagaimana dia mengancam mereka yang mempersekutukan Allah, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab dan siksa. Janji dan ancaman kepada umum, kaum atau bangsa.
Didalam Surat Al- Fatihah didapati ayat- ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“ Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Dengan menyebut “ Maha Pemurah” lagi “ Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik limpahan karunia dan nikmat dari Dia.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“  Yang menguasai di hari Pembalasan”
Dihari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan ancaman.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“ Tunjukilah Kami jalan yang lurus ”
Orang yang mengikuti jalan yang lurus itu akan bahagialah dia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus itu akan celakalah dia. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“  (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Ada orang- orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi- nabi, rasul- rasul, orang- orang shaleh dan siddiiqin orang- orang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Tuhan, yaitu surga jannatunna’im dan ini adalah janji dari Tuhan. Dalam pada itu pula orang- orang yang dimurkai oleh Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia kesasar (sesat) dalam menempuh jalan itu. Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu anacaman.
·         Kisah- kisah atau Cerita- cerita
Unutk jadi contoh dan tauladan, pelajaran dan i’tibar, maka Al- Qur’anul Karim telah menceritakan keadaan bangsa- bangsa dan kaum- kaum yang telah berlalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul- rasul dan nabi- nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan- peraturan, hukum- hukum dan syari’at untuk kebahagiaan hidup mereka.
Diantara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan dan penolakan itu, untuk jadi i’tibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al- Qur’anul Karim itu adalah cerita- cerita tentang bangsa- bangsa dan umat- umat yang berlalu, serta anjuran- anjuran dari Allah untuk mengambil i’tibar dan pelajaran dari keadaan mereka.
Didalam surat Al- Fatihah ini keadaan bangsa- bangsa dan umat- umat yang telah berlalu itu dibayangkan oleh Allah dalam firman- Nya :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
 “  (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Dengan keterangan yang disebutkan diatas, teranglah bahwa surat Al- Fatihah mengandung kesimpulan isi Al- Qur’an dalam surat- surat yang berikutnya adalah uraian dari apa yang telah disimpulkan dalam surat Al- Fatihah itu.
    Hikmah Membaca Surat Al- Fatihah
Surah al-Fatihah adalah surah yang bisa dihafal oleh setiap orang hingga anak-anak. sayang sekali jika kita tidak mengetahui fadhilah membaca surah al-Fatihah yang bedasarkan hadits-hadits Rasulullah Saw., karena itu disini kami ingin mencatat beberapa fadhilah membaca surah al-Fatihah yang dapat memotivasi kita untuk selalu membacanya. Semoga bermanfaat.
Dengan melihat hadits-hadits dalam kitab Khazinatu al-Asrar hal. 108-115, dapat disimpulkan beberapa kelebihan membaca surah al-Fatihah, antara lain:
1.      Diampuni dosa 
2.      Diterima kebaikan 
3.      Aman dari Marah Allah Swt. 
4.      Dibebaskan lidah pembacanya dari Api neraka 
5.      Terlepas dari azab kubur, azab neraka, dan azab hari kiamat 
6.      Berjumpa dengan Allah Swt. sebelum para ambiya dan para Aulia 
7.      Orang yang membaca al-Fatihah seolah ia telah membaca kitab taurat, injil, zabur, al-Quran, suhuf idris As., dan suhuf Ibrahim As. tujuh kali. 
8.      Mendapat derajat yang tinggi dalam surga. 
9.      Orang yang membaca al-Fatihah seolah ia telah menyedekahkan emas di jalan Allah Swt. 
10.  Setiap satu ayat dari al-Fatihah menjadi penutup satu pintu neraka 
11.  Rumah yang dibacakan surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlas tidak akan ditimpa kefakiran dan banyak kebaikan. 
12.  Membaca surah al-fatihah, ayat kursi, dan dua ayat dari ali Imran setiap selesai shalat akan dibalas oleh Allah Swt. dengan surga, dipandang oleh Allah Swt. 70 kali setiap hari, ditunaikan hajat, dimenangkan dari musuh dan pendengki. 
13.  Membaca al-Fatihah dan surah al-Ikhlas sebelum tidur akan mendapatkan keamanan dari apapun kecuali maut.
      
Oleh karena itu, marilah kita sering-sering membaca al-Fatihah dan juga surah-surah lain dari al-Quran. semoga Allah memberikan kepada kita keberhasilan hidup di Dunia dan Akhira. Amin.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Surat Al-Fatihah bukan semata-mata bacaan untuk beribadah saja, tetapi juga mengandung bimbingan untuk membentuk pandangan hidup setiap muslim.
            Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dalam ayat, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka. Kemudian pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah. Dan pada ayat, “Ihdinash shirathal mustaqim” yang merupakan doa yang termasuk jenis ibadah. Doa ini merupakan permintaan seorang hamba untuk mendapatkan petunjuk menuju jalan lurus.
            Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin.” Hal itu disebabkan Allah adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus penguasanya. Pada ayat “Maliki yaumiddin” Allah adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apapun yang berada di antara keduanya adalah milik-Nya. Dialah Raja yang menguasai dunia dan akhirat.
Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat kedua telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah Allah dan Rabb sebagaimana di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘alamin adalah segala makhluk selain Allah. Allah dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maka Dialah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk.



















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, at-Tafsir al-Muyassar.
Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durr al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993).
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H).  
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar,(Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H).
Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi,Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).
Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, (Beirut: Dar at-Turats al-Arabi, tt.).
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997).






[1] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1, hal. 17.
[2] ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1, hal. 15.
[3] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hal. 206.
[4] Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 101
[5] Ibid.
[6] Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 190.
[7] Ibnu Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil, juz 1, hal. 61.
[8] Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 2, ha. 315.
[9] Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H), hal. 10.  
[10] Ibid.
[11] Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.alat-Tafsir al-Muyassar, hal. 8
[12] Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hal. 1.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 53.
[16] Ibid.
[17] Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, hal. 3.
[18] Ibid.
[19] Lihat, Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith,  juz 1, hal. 6.
[20] Ibnu Abi Hatim ar-Razi, Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 1, hal. 8-9.
[21] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, op. cit., juz 1,  hal. 136.
[22]  Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000), juz 1, hal. 170.
[23] Lihat, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
[24] Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 1, hal.43.
[25] Ibid., juz 1, hal. 44.

No comments:

Post a Comment

Designed By