PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Surat
Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam Al Qur’an dan terdiri
dari 7 ayat adalah masuk kelompok surat Makkiyyah, yakni surat yang diturunkan
saat Nabi Muhammad di kota Mekah. Dinamakan
Al-Fatihah, lantaran letaknya berada pada urutan pertama dari 114 surat dalam
Al Qur’an. Para ulama bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini
merupakan intisari dari seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian dirinci oleh
surat-surat sesudahnya. Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah, yaitu
surat yang diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surat
ini berada di urutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari
tujuh ayat. Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji
dan kabar gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang
kafir serta pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung
karena taat kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya, semua itu
tercermin dalam surat Al Fatihah.
Kedudukan surat Al-Fatihah di dalam Al-Qur’an adalah sebagai sumber
ajaran Islam yang mencakup semua isi Al-Qur’an. Dari Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: “Al-Hamdulillah
(Al-Fatihah) adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, As-Sab’ul Matsaani dan
Al-Qur’anul Adhim.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih). Dinamakan dengan
Ummul Kitab atau Ummul Qur’an, yaitu induk Al-Qur’an, karena di dalamnya
mencakup inti ajaran Al-Quran.
B. Rumusan
Masalah
1.
Surat
Al-Fatihah Dan Terjemahannya
2. Penjelasan Kedudukan Surat Al Fatihah Dalam Al Qur’an
3.
Tafsir
Surat Al-Fatihah
4.
Penjelasan Pokok-pokok Ajaran Dalam Surat Al Fatihah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat
Al-Fatihah dan Terjemahannya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 1 - 7]
- Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
- Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
- Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang;
- Yang
menguasai Hari Pembalasan.
- Hanya
Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan.
- Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus;
- (yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
B.
Penjelasan
Umum Surat Al-Fatihah
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama
diturunkan di Mekkah.[1]Namun
menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini diturunkan di
Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali, sekali di
Mekkah, sekali di Madinah.[2] Ia
merupakan surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia
bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali
diturunkan adalah Surah al-Alaq.[3]
Surat
ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia
memang merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan sebagai
bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.[4]Selain al-Fatihah, surat
ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin.
Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah sebutan untuk
al-Lauh al-Mahfuzh.[5] Selain
kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh nama,
di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup),[[6]asy-Syafiyah (yang
menyembuhkan),[7] dan as-Sab’ul
Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).[8]
C. Kedudukan Surat Al Fatihah Dalam Al Qur’an
Surat al-Fatihah memiliki kedudukan yang tinggi dalam al-Quran;
karena merupakan surat yang paling agung, sebagaimana ayat kursi merupakan ayat
yang paling agung.
Saking pentingnya surat ini, ia dicantumkan di awal mushaf. Oleh
karena itu, ia disebut juga “Faatihatul kitab” (Pembukaan Al-Quran). Ini
menunjukkan betapa penting dan tingginya kedudukan surat ini, sebab ia tidak
dikedepankan maupun dicantumkan di awal mushaf, melainkan karena kedudukannya
yang amat penting.
D. Tafsir Surat Al-Fatihah
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [الفاتحة
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Kalimat
basmalah tersebut bermakna: “Aku memulai bacaanku ini seraya memohon
berkah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Idiom “nama Allah” berarti mencakup
semua nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba harus memohon pertolongan
kepada Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama
Allah yang seusai dengan permohonannya. Permohonan pertolongan yang paling
agung adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Dan yang paling utama lagi
adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-Nya, dan meminta
petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.[9]
Allah adalah Dzat yang harus disembah. Hanya Allah yang berhak atas
cinta, rasa takut, pengharapan, dan segala bentuk penyembahan. Hal itu karena
Allah memiliki semua sifat kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk
semestinya hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya.[10] الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam.
Ayat ini
merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan
karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta
baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di
dalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah kepada para hamba untuk
memuji-Nya. Karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah
yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang mengurus segala
persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan
yang Dia berikan. Kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan
berupa iman dan amal saleh.[11]
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3)
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kedua kata tersebut adalah kata sifat yang berakar pada satu kata,
yaitu ar-rahmah. Secara bahasa, kata rahmat berarti
kasih di dalam hati yang mendorong timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini
kurang tepat untuk menggambarkan sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas
lebih sepakat untuk menyatakan bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam
Dzat Allah. Kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari
efek dari sifat kasih sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan.[12]
Banyak para ulama yang membedakan antara makna ar-Rahmandan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya.
Sedangkan sifat ar-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang
memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian
ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah
yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rahim
merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat khusus.[13]
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber
kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah
sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana
sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya yang diberi
kenikmatan.[14]
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)
Yang menguasai di hari Pembalasan
Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan
Ya’qub membacanya dengan huruf mim dibaca panjang (mad).Sedangkan
para qari yang lain membacanya dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski
bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian
ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik bermakna
Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi
ada. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[15]
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti
“yang memutuskan di hari perhitungan.” Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين)
berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan
keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut
bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali
agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan.
Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan.[16] Saat
itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan
neraka.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.
Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah membatasi penyembahan
atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus
memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah
tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk
ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan
larangan-Nya.[17]
Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam hal
ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada Allah. Hal ini
karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang notabene merupakan
bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang menempelkan wajahnya
di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa diinjak-injak oleh
kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang
kepada Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.[18]
Ditempatkannya
kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat
“penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk
pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita
untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah
kita beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan
kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah
ia terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika
seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan
apa yang diperintahkan.[19]
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus,
Menurut
Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَاx) berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam
riwayat lain “jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga
riwayat yang menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan
demikian, menurut Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar”
berarti “berilah kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan
selain Allah satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.”[20]
Kata
ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas
mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari,
membacanya dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum
dalam mushaf Utsmani.Kedua, sebagian lain membacanya dengan
huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط). Ketiga, dibaca
dengan huruf zay (ز), sehingga menjadi (الزِراَط).[21] Sedangkan menurut bahasa, seperti
dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang
jelas dan tidak bengkok.[22]
Kataاهْدِنَا berasal dari akar
kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi,
hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun perbuatan– kepada
kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada
hamba-Nya secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah
kepada manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra
dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk
untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Hidayah kedua adalah
melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah ini terkadang disandarkan kepada
Allah, para rasul-Nya, atau Alquran. Hidayah tingkatan ketiga adalah
hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan baik
mereka. Hidayahkeempat adalah hidayah yang telah ditetapkan oleh
Allah di alam keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah, maka Nabi
Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abi Thalib, untuk masuk Islam.[23]
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.
Ayat
ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang
dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang
lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”adalah jalan orang-orang yang
telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka
dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali.
Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan
nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri
nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu
Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[24]
Selanjutnya,
yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang
ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka
dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan
ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai
adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak
para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.[25]
D. Pokok –pokok Ajaran Dalam Surat Al Fatihah
Telah disebutkan diatas, bahwa Surat Al-
Fatihah adalah sebagai induk dari Al- Qur’an seluruhnya, yakni didalam surat
Al- Fatihah ini terdapat kesimpulan atau intisari dari isi Al- Qur’an. Al-
Qur’an diturunkan di waktu umat manusia di seluruh penjuru alam ini amat
membutuhkan tuntunan dan hidayah yang akan menuntun mereka kepada ketentraman
jiwa dalam segala segi- segi hidup dan kehidupan.
Jika manusia tidak puas, malah tidak
mengingini keadaan yang berlaku dalam masyarakat. Dimana saja di waktu itu
dunia telah dipenuhi dengan keadaan- keadaan yang tidak wajar, i’tikad dan
kepercayaan yang bukan- bukan terhadap Allah dan Rasul- Rasul- Nya, pemuka
agama, raja- raja, pemimpin- pemimpin dan syekh- syekh kabilah yang mempunyai
kekuasaan yang tidak terikat sedikitpun. Akhlak dan budi pekerti serta
tindakan- tindakan yang amat bertentangan dengan peri kemanusiaan, seakan- akan
orang telah lupa kepada ajaran- ajaran yang dibawa oleh nabi- nabi dan rasul-
rasul sebelum nabi Muhammad.
Maka kedatangan Al- Qur’an adalah untuk
memenuhi tuntutan jiwa yang hendak lepas dari belenggu kepercayaan-
kepercayaan, hukum dan peraturan- peraturan, adat istiadat atau tradisi-
tradisi serta dongeng- dongeng yang tidak selaras lagi dengan akal dan fikiran
yang selalu berkembang dan selalu menuju kepada kesempurnaannya.
Untuk memenuhi aspirasi jiwa ini, Al- Qur’anul
Karim datang dengan membawa aqaid (keimanan), hukum- hukum dan peraturan-
peraturan, janji- janji dan ancaman- ancaman (peringatan) serta kisah- kisah
tentang umat- umat yang telah berlalu yang dapat dijadikan pelajaran dan
i’tibar, agar manusia hidup aman dan tentram, berbahagia dunia akhirat. Dengan
ringkas dapat disimpulkan bahwa isi Al- Qur’an itu kepada pokok- pokok sebagai
berikut :
1. Keimanan
(‘aqaid).
2. Ibadat.
3. Hukum-
hukum dan peraturan- peraturan.
4. Janji
dan ancaman.
5. Kisah-
kisah atau cerita- cerita.
· Keimanan
( Aqa’id )
Keimanan inilah yang pertama kali dibawa oleh
Al- Qur’anul Karim yang diajarkan oleh Muhammad SAW, nabi- nabi dan rasul-
rasul yang telah diutus sebelum Muhammad SAW pun menanamkan keimanan ini pula
pada pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dibawa oleh Al-
Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, rasul- rasul- Nya, malaikat- malaikat-
Nya, kitab- kitab yang telah diturunkan- Nya, hari akhirat, serta qada’ dan
qadar.
Di waktu Al- Qur’an diturunkan, keimanan yang
dibawa oleh rasul- rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang khalis (murni)
tidak ada lagi. Kepada umat- umat yang dahulunya, telah pernah diutus rasul-
rasul kepada mereka, dan telah pernah mempunyai kitab- kitab samawi, namun
kemudian mereka telah memandang rasul- rasul, orang- orang shaleh, malaikat-
malaikat sebagai Tuhan. Kitab- kitab samawi yang dibawa oleh nabi- nabi dan
rasul- rasul kepada mereka sudah dirobah- robah oleh tangan mereka sendiri.
Bangsa Arab, biarpun yang telah pernah
menganut ajaran- ajaran Nabi Ibrahim, maupun yang tidak, rata- rata telah
menjadi penganut kepercayaan wasani, penyembah patung- patung dan dewa- dewa,
sehingga menurut riwayat di sekitar Ka’bah terdapat 360 buah patung. Maka
datanglah Al- Qur’anul Karim untuk mensucikan akidah manusia dari kotoran-
kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang semurni- murninya, yang tidak
dicampuri sedikit juga oleh kepercayaan- kepercayaan dan perbuatan- perbuatan
membesarkan sesuatu dalam alam ini.
Akidah tauhid dibawa oleh Al- Qur’anul Karim
itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas. Akidah yang paling sempurna yang
dapat dicapai oleh akal, yang paling sempurna yang dibawa oleh agama. Tuhan
Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain- Nya adalah makhluk. Tak ada
permulaan- Nya, dan tak ada kesudahan- Nya. Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha
Penyayang, Maha Mengetahui. Ilmunya meliputi segala sesuatu, tidak ada suatu
juga yang serupa dengan Dia, alam semesta ini makhluk Allah. Yang akan lenyap
dan habis dengan kehendak Allah, sebagaimana dia ada, adalah dengan kehendak
Allah.
Didalam Surat Al- Fatihah, akidah tauhid ini
didapat dalam ayat- ayat :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam ”
Jadi maksud ayat ini : “ Semua puji itu untuk
Allah, Tuhan semesta alam ”. Yakni : yang berhak dipuji adalah Allah, maka
pujian itu haruslah dihadapkan kepada- Nya.
Seseorang dipuji adalah karena sifat- sifat
yang mulia yang berada pada dirinya, atau karena perbuatan- perbuatan, jasa-
jasa dan budi baiknya. Oleh karena puji itu semata- mata adalah untuk Allah
sajalah yang mempunyai sifat- sifat yang sempurna, yang menyebabkan Dia berhak
dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Kuasa, Maha
Adil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya.
Pernyataan bahwa Allah sajalah yang mempunyai
sifat- sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat-
nikmat dan karunia, inti dari Keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid
yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah serta segala sifat kesempurnaan- Nya,
dan akidah tauhid yang semurni- murninya itu adalah salah satu dari ajaran
Islam yang terpenting, sebab itu didalam ayat ini ditegaskan lagi bahwa Allah
Rabb bagi semesta alam.
Kata Rabb itu selain “ Yang Punya” juga
berarti “ Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelaslah bahwa sesuatu apapun
yang berada di alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan,
mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang menyekutui
Dia dalam hal ini. Sejalan dengan ini maka makhluk itu bagaimana kecil dan
halusnya, dan jauh dari tempatnya dibawah pengetahuan, lindungan, pemeliharaan
Allah. Allah telah memberi kepada makhluk- Nya suatu bentuk, lalu dikaruniai
Nya akal, naluri- naluri (instink) dan kodrat- kodrat alamiah, yang dapat
dipergunakannya untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu makhluk itu tidak
dilepaskan saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga
Nya.
Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh
Allah terhadap makhluk Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia
dengan sedalam- dalamnya, dan memang dari dahulu sampai sekarang telah
diperhatikan dan dipelajari oleh para ahli fikir dan para sarjana, sehingga
telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah
keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna pula bagi
masyarakat.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“ hanya kepada Engkaulah kami menyembah “
dan” hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”
Ayat ini juga berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih
jelas akidah tauhid itu. Ayat ini berarti bahwa hanya Allah sajalah yang berhak
disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon sesuatu
pertolongan. Jadi manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung
dengan Allah sebagai Khaliknya. Dia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung
kepada Allah, Khaliknya itu dengan tidak ada perantaraan apapun juga.
Dengan ini terbongkarlah dengan akar- akarnya kepercayaan syirik
(mempersekutukan Allah, membesarkan sesuatu apapun selain Allah) kepercayaan
wasani (menyembah dewa- dewa, matahari, bulan, bintang- bintang, dan lain-
lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan yang lain sebagainya, yaitu
kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum
datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Dan seterusnya, menerangkan akidah tauhid,
kalau tidak jelas, maka dengan secara dibayangkan, sebagaimana akan kelihatan
nanti pada tafsir masing- masing ayat ini.
· Ibadat
Ibadat ini adalah buah dari keimanan kepada
adanya Allah, dengan segala sifat- sifat kesempurnaan- Nya, seseorang yang
meyakinkan adanya segala sifat- sifat kesempurnaan- Nya itu, dia akan menyembah
Allah. Ibadat ini telah dibayangkan didalam Surat Al- Fatihah dengan firman-
Nya :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”
Didalam ayat ini Allah mengajari hamba- Nya
supaya menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung
akidah tauhid, juga mengandung ibadat kepada yang Maha Esa itu.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“
Tunjukilah Kami kejalan yang lurus ”
Untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan di
akhirat, Allah mengadakan peraturan- peraturan, hukum- hukum, menjelaskan
kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh- contoh. Ini semua adalah laksana
jalan lurus yang dibentangkan Allah yang menyampaikan manusia kepada
kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang
menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu.
Menjalani jalan yang lurus ini artinya ialah
beribadat kepada Allah, dengan mematuhi peraturan- peraturan, menjalankan
hukum- hukum, dan berpegang kepada akidah yang benar, melaksanakan pelajaran-
pelajaran dan mengambil tauladan kepada contoh- contoh yang telah diberikan
Allah, menurut yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat- ayat yang lain, yang jadi
uraian bagi inti pati yang telah disebutkan di surat Al- Fatihah ini.
Ibadat itu tidak dapat dipisahkan dari tauhid,
sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadat, karena ibadat itu
adalah buah dari tauhid, dan tak adalah dia mempunyai nilai dan harga kalau
timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni
tauhid itu tidak akan subur hidupnya didalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak
selalu dipupuk dengan ibadat.
Sebab itu didalam surat Al- Fatihah ini,
disamping disebut tauhid, disebut juga oleh Allah ibadat. Kedua- duanya secara
ringkas akan diikuti dengan penjelasan- penjelasan pada ayat- ayat yang lain
didalam surat- surat yang berikut.
· Hukum-
hukum dan Peraturan- peraturan
Telah disebutkan diatas, bahwa untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengadakan Hukum-
hukum dan peraturan- peraturan ini ada yang berkenaan dengan hubungan manusia
dengan Allah dan ada yang berhubungan dengan masyarakat dan siasat kenegaraan
dan yang lainnya.
Didalam Al- Qur’anul Karim banyak didapati
ayat- ayat yang berhubungan dengan hukum- hukum dan peraturan- peraturan ini.
Semua ayat- ayat ini adalah penjelasan bagi apa yang telah dicantumkan dalam
Surat Al- Fatihah Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan- peraturan dalam
firmannya :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“ Tunjukilah kami kejalan yang lurus ”
Jalan yang menyampaikan manusia kepada
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, yaitu akidah- akidah (kepercayaan)
yang benar, hukum- hukum dan peraturan- peraturan, pelajaran- pelajaran yang
dibawa oleh Al- Qur’an sebagai disebutkan diatas.
· Janji
dan Ancaman
Al- Qur’anul Karim juga berisi janji dan
ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat
baik. Sebagaimana dia mengancam mereka yang mempersekutukan Allah, yang membuat
onar dan kejahatan dengan azab dan siksa. Janji dan ancaman kepada umum, kaum
atau bangsa.
Didalam Surat Al- Fatihah didapati ayat- ayat
yang mengandung janji dan ancaman, yaitu :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“ Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang”
Dengan menyebut “ Maha Pemurah” lagi “ Maha
Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik
limpahan karunia dan nikmat dari Dia.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“ Yang menguasai di hari Pembalasan”
Dihari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia
akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi
mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan ancaman.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“ Tunjukilah Kami jalan yang lurus ”
Orang yang mengikuti jalan yang lurus itu akan
bahagialah dia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus itu akan
celakalah dia. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“ (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat”.
Ada orang- orang yang telah dianugerahi nikmat
oleh Allah, yaitu nabi- nabi, rasul- rasul, orang- orang shaleh dan siddiiqin
orang- orang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Tuhan, yaitu
surga jannatunna’im dan ini adalah janji dari Tuhan. Dalam pada itu pula orang-
orang yang dimurkai oleh Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang
lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang
sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia
mengetahuinya, tetapi dia kesasar (sesat) dalam menempuh jalan itu. Mereka yang
dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan
ini adalah suatu anacaman.
· Kisah-
kisah atau Cerita- cerita
Unutk jadi contoh dan tauladan, pelajaran dan
i’tibar, maka Al- Qur’anul Karim telah menceritakan keadaan bangsa- bangsa dan
kaum- kaum yang telah berlalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul- rasul dan
nabi- nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan- peraturan, hukum- hukum
dan syari’at untuk kebahagiaan hidup mereka.
Diantara mereka ada yang menerima dan ada yang
menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan dan penolakan itu,
untuk jadi i’tibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-
Qur’anul Karim itu adalah cerita- cerita tentang bangsa- bangsa dan umat- umat
yang berlalu, serta anjuran- anjuran dari Allah untuk mengambil i’tibar dan
pelajaran dari keadaan mereka.
Didalam surat Al- Fatihah ini keadaan bangsa-
bangsa dan umat- umat yang telah berlalu itu dibayangkan oleh Allah dalam
firman- Nya :
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Dengan keterangan yang disebutkan diatas, teranglah
bahwa surat Al- Fatihah mengandung kesimpulan isi Al- Qur’an dalam surat- surat
yang berikutnya adalah uraian dari apa yang telah disimpulkan dalam surat Al-
Fatihah itu.
Hikmah Membaca Surat
Al- Fatihah
Surah al-Fatihah adalah surah yang
bisa dihafal oleh setiap orang hingga anak-anak. sayang sekali jika kita tidak
mengetahui fadhilah membaca surah al-Fatihah yang bedasarkan hadits-hadits
Rasulullah Saw., karena itu disini kami ingin mencatat beberapa fadhilah
membaca surah al-Fatihah yang dapat memotivasi kita untuk selalu membacanya.
Semoga bermanfaat.
Dengan melihat hadits-hadits dalam kitab Khazinatu
al-Asrar hal. 108-115, dapat disimpulkan beberapa kelebihan membaca
surah al-Fatihah, antara lain:
1.
Diampuni dosa
2.
Diterima kebaikan
3.
Aman dari Marah Allah Swt.
4.
Dibebaskan lidah pembacanya dari Api
neraka
5.
Terlepas dari azab kubur, azab neraka, dan
azab hari kiamat
6.
Berjumpa dengan Allah Swt. sebelum para ambiya
dan para Aulia
7.
Orang yang membaca al-Fatihah seolah ia telah
membaca kitab taurat, injil, zabur, al-Quran, suhuf idris As., dan suhuf
Ibrahim As. tujuh kali.
8.
Mendapat derajat yang tinggi dalam
surga.
9.
Orang yang membaca al-Fatihah seolah ia telah
menyedekahkan emas di jalan Allah Swt.
10.
Setiap satu ayat dari al-Fatihah menjadi
penutup satu pintu neraka
11.
Rumah yang dibacakan surah al-Fatihah dan
surah al-Ikhlas tidak akan ditimpa kefakiran dan banyak kebaikan.
12.
Membaca surah al-fatihah, ayat kursi, dan dua
ayat dari ali Imran setiap selesai shalat akan dibalas oleh Allah Swt. dengan
surga, dipandang oleh Allah Swt. 70 kali setiap hari, ditunaikan hajat,
dimenangkan dari musuh dan pendengki.
13.
Membaca al-Fatihah dan surah al-Ikhlas sebelum
tidur akan mendapatkan keamanan dari apapun kecuali maut.
Oleh karena itu, marilah kita sering-sering membaca
al-Fatihah dan juga surah-surah lain dari al-Quran. semoga Allah memberikan
kepada kita keberhasilan hidup di Dunia dan Akhira. Amin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Surat Al-Fatihah bukan semata-mata bacaan untuk beribadah saja, tetapi
juga mengandung bimbingan untuk membentuk pandangan hidup setiap muslim.
Tauhid
uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dalam ayat, “Alhamdulillah” (Segala
puji bagi Allah). Hal itu
dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb mereka merupakan
sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari
perbuatan mereka. Kemudian pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”
menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah.
Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah
juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama menunjukkan
bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk
mengharap ridha Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah
SAW. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim
tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama dan dunianya
kecuali kepada Allah. Dan pada ayat, “Ihdinash shirathal mustaqim” yang merupakan
doa yang termasuk jenis ibadah. Doa ini merupakan permintaan seorang hamba
untuk mendapatkan petunjuk menuju jalan lurus.
Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam ayat,
“Rabbil ‘alamin.” Hal itu disebabkan Allah adalah rabb bagi segala sesuatu,
pencipta sekaligus penguasanya. Pada ayat “Maliki yaumiddin” Allah adalah rabb
segala sesuatu dan penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apapun
yang berada di antara keduanya adalah milik-Nya. Dialah Raja yang menguasai
dunia dan akhirat.
Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat kedua
telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah Allah dan Rabb
sebagaimana di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘alamin adalah
segala makhluk selain Allah. Allah dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya, maka Dialah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya
adalah makhluk.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, at-Tafsir al-Muyassar.
Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durr
al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993).
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan
fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah
wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah,
1422 H).
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad
al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah
al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar,(Beirut:
Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H).
Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi,Bahr
al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).
Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf
‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, (Beirut:
Dar at-Turats al-Arabi, tt.).
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim
at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997).
[2] ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab
at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1,
hal. 15.
[3] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hal. 206.
[4] Ismail
bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,(Beirut:
Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 101
[6] Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir:
al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 190.
[8] Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan
fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 2, ha.
315.
[9] Abdurrahman bin Nashir bin
as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an,
(Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa
al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H), hal. 10.
[15]
Abu
Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh:
Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 53.
[22] Muhammad bin Jarir bin
Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’
al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000), juz 1,
hal. 170.
[23] Lihat, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin
at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah versi
3.13.
[24] Abu
al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 1, hal.43.
No comments:
Post a Comment